Tantangan Dakwah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia ke Depan

Dakwah, Headline, Opini434 Dilihat

Ra’aitu al-Islām wa lam arā Musliman wa ra’aitu al-Muslimīn fī al-‘Arab wa lam arā Islāman” (“Aku melihat Islam di Paris, tapi aku tidak melihat Muslim, dan aku melihat Muslim di Arab tapi tak melihat Islam”). Syeikh Muhammad ‘Abduh.

Ungkapan di atas, disampaikan oleh Syeikh Muhammad ‘Abduh seorang ulama pembaru Mesir yang mempunyai pengaruh luas dalam dunia Islam pada abad ke-20. Belia pada tahun 1884 pertama kali berkesempatan mengunjungi Kota Paris – Prancis. Pada waktu itu Paris telah menjadi kota yang teratur rapi, indah, dan bersih. Penduduknya memiliki etos kerja tinggi alias pekerja keras, ramah terhadap tamu, bersahabat dan negaranya berkembang maju, bersih dan teratur.

Dari kunjungan tersebutlah, Muhammad ‘Abduh pada saat itu berkesimpulan atas performa kota itu dan membandingkannya dengan di Arab. Sebuah kesimpulan yang sederhana, namun di balik itu terdapat masalah yang kompleks. Nampaknya, ‘Abduh melihat bahwa amalan-amalan yang seharusnya dilakukan oleh ummat Islam justru dilaksanakan oleh masyarakat Barat. Orang-orang Barat, misalnya, benar-benar menjaga kebersihan kotanya. Sementara, orang-orang Islam di Negara-negara Islam pada waktu itu tidak menjaga kebersihan dengan baik, padahal kebersihan merupakan sebagian dari iman. Demikian pula dengan contoh-contoh lainnya; baik yang berkenaan dengan etos kerja, kejujuran, keramahan dan sebagainya. Namun tentu Syeikh Muhammad ‘Abduh tidak sampai pada kesimpulan bahwa Prancis adalah Negara Islam.

Sebenarnya, di satu sisi kesimpulan di atas pada saat itu, sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang, melihat sudah banyak Negara Islam yang kebersihan dan kerapian kotanya tidak jauh beda dari kota-kota besar di Eropa. Masyarakat muslim juga sudah beretos kerja tinggi, professional dengan management yang rapi. Tapi, di sisi lain, kita mesti akui bahwa kesan itu masih relevan jika bandingannya seluruh Negara Islam dan ukurannya adalah Islam. Tidak semua negara mempunyai kota-kota teratur dan bersih sekelas kota-kota Eropa. Disiplin warganya juga tidak setinggi orang-orang di Barat. Budaya antri, budaya berlalu lintas, sikap terhadap fasilitas umum, kebersihan toilet, budaya membuang sampah dan hal-hal yang sederhana lainnya di Negara-negara Islam masih relatif rendah. Semuanya itu merupakan cerminan dari keislaman dan keimanan seseorang dalam kehidupan sosial.

Fenomena di atas meninggalkan pertanyaan, bukankah apa yang kita saksikan di Barat tersebut merupakan ajaran-ajaran Islam yang seharusnya kita sebagai ummat Islam yang mengamalkannya?, mengapa kaum Muslimin mengalami kelemahan dan kemunduran yang merata di seluruh dunia, baik dalam urusan agama maupun dunia?, apakah yang menyebabkan kemajuan bangsa Eropa, Amerika, Jepang, dsb? Apakah dimungkinkan bagi kaum Muslimin, untuk juga maju dan pada saat yang sama tetap teguh memegang agama mereka?

BACA JUGA :   14 Hari Ops Antik Rinjani 2023, Polres Sumbawa Ungkap 12 Kasus Narkoba Gulung 13 Tersangka

Pertanyaan-pertanyaan di atas, oleh Amir Syakib Arsalan dijawab dalam sebuah majalah al-Manar tahun 1936. Empat tahun kemudian pada tahun 1940, jawaban itu lalu dilengkapi dan diedit untuk kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul “Limādzā Ta’akkhora al-Muslimūn wa Taqoddama Ghoyruhum” (Mengapa Ummat Islam Mundur, sedangkan Ummat lainnya Maju?). Kesimpulan buku tersebut sebagai jawaban atas pertanyaan dalam judul buku itu adalah bahwa kaum Muslimin mundur karena mereka meninggalkan Islam. Sedangkan bangsa Eropa Barat menjadi “maju” karena mereka meninggalakn agama mereka, yaitu agama Nasrani atau Kristen.

Jawaban yang dapat menjadi momentum kita untuk introspeksi diri juga bisa kita dapatkan dari jawaban Syeikh Mutawalli as-Sya’rawi. Ketika ia berkunjung ke San Fransisco –Amerika–, saat beliau ditanya oleh seorang orientalis, “Apakah ayat-ayat di al-Qur’an kalian seluruhnya benar?” Sang Syeikh, tentu menjawab dengan tegas, “Iya saya yakin benar”.

Orientalis tersebut melanjutkan pertanyaannya, “Lalu mengapa Allah jadikan orang-orang kafir berkuasa atas kalian, padahal disebutkan dalam QS an-Nisā’ ayat 141 bahwa; “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk (menguasai) orang-orang yang beriman (Mukminīn)”. Sang Syeikh lantas memberikan jawaban: “Karena kami masih Muslimīn belum menjadi Mukminīn).

Penasaran dengan jawaban Sang Syeikh, Orientalis tersebut bertanya Kembali, “Lalu apa bedanya Mukminīn dan Muslimīn?” Sang Syeikh menjawab: “Kaum Muslimīn hari ini menunaikan seluruh syiar Islam, dari sholat, zakat, haji, puasa Ramadhan, serta ibadah lainnya. Namun mereka sangat gersang! Mereka gersang ilmu ekonomi, sosial, militer, dan lainnya”.

“Mengapa kegersangan itu terjadi,” tanya Orientalis itu lagi. Syeikh itu lalu menjawab dengan menyetir al-Qur’an Surat al-Hujurāt ayat 14; Orang-orang Arab Badui itu berkata: “Kami telah beriman”. Katakanlah: “Kamu belum beriman, tapi katakanlah, ‘Kami telah berislam karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu”.

Dari ayat di atas, syeikh menjelaskan bahwa kaum Muslimin belum meningkat hingga benar-benar ke tingkatan Mukminīn. Jika mereka benar-benar beriman, sudah tentu Allah akan memenangkan mereka. Ini disebutkan dalam QS ar-Rum ayat 47: “Dan Kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman (Mukminīn)”. Jika mereka beriman tentu mereka yang akan berkedudukan lebih tinggi di antara ummat dan Bangsa lain. Dalam hal ini, al-Qur’an mengingatkan dalam Surat Āli-‘Imrān ayat 139; “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman (Mukminīin)”.

Syeikh as-Sya’rawi lalu menyimpulkan, bahwa Muslim yang berkualitas Mukmin itulah yang tidak akan dikuasai oleh orang-orang kafir. Sebagaimana yang difirman Allah dalam QS an-Nisa ayat 141 di atas. Hal ini diperkuat lagi dengan firman Allah dalam Surat Āli-‘Imrān ayat 179, “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (Mukmin)”. Kemudian, ditegaskan lagi dalam Surat al-Anfāl ayat 19, “Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang beriman”. Tapi, yang menjadi masalah, “….kebanyakan mereka tidak beriman” QS asy-Syu’arā ayat 8.

BACA JUGA :   Pasangan Bacabup KSB Nur Ramdhan, Makin Kokoh Tancapkan Posisinya

Dari hal di atas, kita menyadari tantangan dakwah kita ke depan sangat kompleks, jumlah ummat Islam memang banyak, tapi mayoritas itu masih berkualitas rendah, baru setingkat menjalankan syari’at. Itupun mungkin tidak semuanya, hanya sholat saja, atau zakat saja, atau puasa saja. Kesan yang timbul di masyarakat adalah Islam sebagai identitas yang bersimbol ritual. Maka tidak heran jika amal-amal ummat Islam tidak mencerminkan keimanan, seperti yang disaksikan Syeikh Muhammad ’Abduh, yaitu Islam minus perilaku sosial. Hal ini menjadi problem dan tantangan pemikiran Islam yang bersifat internal.  Belum lagi Ketika ummat Islam sekarang menghadapi tantangan yang bersifat ekternal, berasal dari pemikiran-pekiran peradan luar Islam. Sekularisme, pluralisme agama dan moral, liberalisme serta isme-isme lainnya.

Satu contoh, jika kita memandang situasi etis dalam dunia modern, kita menyaksikan adanya pluralisme moral. Pluralisme moral terutama dirasakan karena sekarang kita hidup dalam era komunikasi. Konon, ketika Christopher Columbus menemukan benua Amerika (1492), bosnya di Eropa-raja Spanyol- baru mendengar tentang kejadian itu setelah 5 bulan. Ketika Presiden Amerika Serikat, Abraham Lincoln, dibunuh (1865), kabar itu baru sampai di Eropa sesudah 12 hari. Kini melalui media komunikasi modern informasi dari seluruh dunia langsung memasuki rumah-rumah kita, sebagaimana juga kejadian-kejadian di dalam masyarakat kita segera tersiar ke segala pelosok dunia. Dalam hal ini perkembangan mutakhir adalah Internet. Suka tidak suka, bersama dengan menerima informasi sebanyak itu kita berkenalan pula dengan norma dan nilai dari masyarakat lain, yang tidak selalu sejalan dengan norma dan nilai yang dianut dalam masyarakat kita sendiri.

Seperti diketahui, beberapa negara komunis yang sejak Perang Dunia Il telah berusaha menutup diri terhadap segala pengaruh dari luar, dalam hal ini hanya sebagian berhasil. Lagì pula, sarana pengangkutan modern seperti pesawat terbang, kereta api dan kendaraan bermotor telah mengakibatkan suatu mobilitas yang belum pernah disaksikan sepanjang sejarah umat manusia. Ratusan juta manusia setiap tahun melewati perbatasan negara mereka. Dan kita lihat, mereka pergi semakin jauh, karena sarana pengangkutan semakin cepat dan pelayanan kewisataan semakin ditingkatkan.

BACA JUGA :   Bulan Ramadhan Sat Narkoba Polres Sumbawa Barat Berhasil Amankan 3 Terduga Pelaku Miliki Narkoba

Pariwisata sudah menjadi sebuah industri yang dengan sengaja digalakkan untuk menarik sebanyak mungkin devisa. Dunia usaha juga sudah hampir tidak mengenal perbatasan negara, sehingga banyak sekali manajer, konsultan dan teknisi berkeliling dari satu negara ke negara lain, sebagai karyawan salah satu multinational corporation. Atau kita lihat saja betapa banyak orang Indonesia pernah menuntut ilmu di luar negeri atau sekarang sedang menjalani studi di luar negeri. Tidak dapat disangkal, masyarakat kita yang sudah sejak dulu diwarnai “kebhinekaan” sekarang berjumpa dengan kemajemukan norma dan nilai seperti hampir semua masyarakat di dunia. Kemajemukan itu menyangkut nilai dan norma dalam praktek-praktek bisnis, umpamanya, tapi juga dalam bidang yang sama sekali lain seperti seksualitas serta perkawinan. Kita lihat, ada beberapa masyarakat yang lebih liberal dan permisif daripada masyarakat lain tentang hubungan seksual sebelum perkawinan, hubungan homoseksual, pornografi, dan sebagainya, atau yang sering kita dengarkan dewasa ini dengan sebutan LGBT.

Kembali lagi pada intinya, permasalahan di atas merupakan tantangan dakwah kita ke depan yang lebih kompleks, bagaimana meningkatkan kualitas ummat Islam, bukan sekedar kuantitas dengan kualitas rendah sebagai muslim identitas ritual, atau bahkan sekedar identitas  KTP, melainkan meningkat menjadi seorang yang beriman dan bertakwa. Tidaklah berzina seseorang jika di beriman, tidaklah mencuri seseorang ketika dia beriman, tidaklah berdusta seseorang sedangkan dia beriman, tidaklah berselisih seseorang sedangkan dia beriman, dengan keimanan dan takwalah Allah akan membukakan bagi kita keberkahan dari langit dan bumi. Karena semuanya disediakan bagi orang-orang yang beriman dan bertakwa.

Pada titik inilah, dibutuhkan sosok pendakwah yang mukhlis, yang siap berjuang dengan harta dan jiwanya di jalan Allah, di samping keimanan kepada Allah dan Rasulullah yang tidak tergoyahkan oleh keragu-raguan. Inilah yang diisyaratkan dalam QS al-Hujurāt ayat 15, sebagai sebenar-benarnya keimanan. Semoga Dewan Dakwah Kabupaten Sumbawa Barat dan Sumbawa yang baru dilantik sebagai Pengurus periode 2023-2026 selalu dalam naungan, tuntunan, bimbingan, dan penjagaan Allah Swt. Amin.

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *